Cinta
Budaya Negeri Sendiri
Reni
berangkat ke sekolah pukul setengah tujuh pagi. Seperti waktu-waktu sebelumnya
ia biasa berangkat awal. Tak pernah ia terlambat meski harus bantu-bantu
terlebih dahulu di rumah dan berangkat ke sekolah hanya dengan berjalan kaki.
Tak seperti kebanyakan anak lain yang selalu diantar dengan mobil atau motor
atau gojek oleh orang tua atau asisten rumah tangga. Reni memang anak yang
rajin, tidak manja dan disiplin.
Di ujung
jalan gang dekat sekolah Reni bertemu dengan Firza yang dibonceng abang ojek
online atau yang biasa disebut abang ojol.
“Bang, turun
sini aja,” pinta Firza.
“Baik, mba,”
jawab driver ojol.
Setelah
Firza turun dari motor dan membayar ojek tersebut ia menghampiri Reni.
“Hay,
gaezz,, apa kabar?” sapa Firza..
“Baik, Za.
Kamu gimana?” sahut Reni dengan menyalami Firza.
“Gue juga
baik juga sista Reni” jawab Firza dengan segenap tuturnya dengan bahasa super
gaul.
“Firza. Itu
bajumu belum dimasukkan ke rok?” tanya Reni.
“Sssstttzz,
duuuh sista Reni ini. Kuper tau. Gak gaul. Ini stylish tau Ren. Modis. Keren.
Trendi. Cool. Ala Korea. K-Pop Mania,” papar Firza.
“Aduh Za.
Gak gitu juga kali. Biarpun kita gaul tapi harus ada batas dan aturan. Kita
orang Indonesia yang punya norma dan budaya. Gaul yang sopan dan sewajarnya,”
“Idih, kena
ceramah nih!” tukas Firza dengan senyum kecut.
“Engga kok,
Za. Sebagai teman aku ingin mengingatkan aja. Kita ini perempuan yang harus
menjaga diri agar tidak memancing kejahatan. Terus, kita ini kan bangsa
Indonesia yang dikenal dengan budayanya. Cintai budaya kita. Jalankan norma
dengan baik. Ada norma hukum. Kita in ikan anak sekolah yang harus menerapkan
aturan sekolah. Berpakaian rapi, sopan dan sesuai ketentuan, Za,”
“Iya, deh
Ren aku masukkin,” balas Firza.
“Nah, gitu
dong. Kan cantik. Cantik itu gak harus kebarat-baratan atau ala Korea, Za.
Kalau seperti itu khan jadi anggun. Memesona. Yuk, sambil jalan,” ucap Reni.
“Makasih
pujiannya, Ren. Oiya, nanti sore main ke rumahku, yuk? Aku mau main game tapi
ga ada temen. Nanti pakai HP aku aja. Sudah ada kuotanya. Kamu tinggal main aja
pokonknya,” rayu Firza.
“Makasih lho
Ren, tawarannya. Tapi nanti sore aku mau nonton pertunjukan wayang di balai
Kelurahan sama ibu aku. Aku sudah janji,”
“Yah, kok ga
bisa si Ren? Batalin aja Ren? Lebih asik main game. Terus, aku juga mau pamerin
baju baru aku. Lima setel tau, Ren. Baru beli di online shop. Kalau mau aku
kasih baju satu setel deh. Terus, kita nonton film drakor pula. Lagi seru lho
episode nanti sore. Tapi, please mau ya temenin aku main game?” rayu
Firza.
“Maaf, Za.
Beneran aku ga bisa. Aku lebih suka liat wayangnya daripada tontonan korea atau
sekedar main game. Kalua tontonan wayang itu kan budaya kita. Dari pagelaran
wayang itu ada banyak pesan moral yang kita peroleh, Za,”
“Baiklah
kalo gitu. Aku main sendiri aja,” balas Firza lirih dengan raut wajah kecewa.
“Sekali lagi
maaf ya, Za?” pinta Reni.
“Iya, ga
apa-apa Ren,”
“Senyum
donk. Dah sampai depan gerbang sekolah nih. Jangan masuk sekolah sambal
cemberut. Nanti ditangkap satpam,” seloroh Reni mencairkan suasana.
“Oke, kaka
Reni. Asiap deh pokoknya,” balas Firza dengan wajah kembali terkembang.
Begitulah
kisah Reni. Seorang anak yang sederhana, rajin, disiplin dan cinta budaya tanah
airnya. Tidak mudah terbawa arus negatif modernisasi.
(Oleh : Karsim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar